Sampah atau barang-barang buangan, kotoran dan sejenisnya sampai pada detik ini tetap menjadi persoalan serius. Kita sebagai bangsa yang berkeyakinan bahwa Kebersihan adalah bagian dari iman pun belum bisa mengaplikasikan dengan baik bukan?
Dibanding dengan orang-orang Barat, mayoritas keimanan mereka tidak seiman dengan keimanan bangsa Indonesia tapi perilaku mereka dalam mengelola sampah, membuang kotoran lebih Islami daripada kita. Bahkan ada anekdot bernada ironi bahwa di sana itu tidak ada area yang jorok kecuali di dua tempat yaitu KBRI dan Masjid. Satu stigma yang memprhatinkan bukan?
Begitupun di lingkungan RT saya. Tadi malam saya mengikuti acara rutin bulanan setiap tanggal 10 Rapat Lingkungan. Kebetulan di desa saya penduduknya banyak, ada sekitar 12 ribu jiwa pemilih, menurut data terakhir pemilu kemarin, belum ditambah pendatang dari tempat lain yang belajar Bahasa Inggris. Sehingga persoalan semakin komplek.
Problem yang dimusyawarahkan dalam rapat RT semalam adalah mengenai orang-orang pendatang dan efek yang ditimbulkannya, diantaranya adalah “sampah”. Ada peserta rapat, kebetulan tokoh terpandang, marah-marah kepada pak RT karena dianggap tidak tanggap soal lingkungan termasuk sampah berceceran yang dibuang oleh anak-anak kost.
Bapak tokoh masyarakat ini merasa terganggu dengan sampah yang dilempar anak-anak kost yang berceceran di depan rumahnya karena bersebelahan dengan camp-nya anak-anak kursus.
Saya yakin persoalan ini tidak hanya di lingkungan saya saja tapi hampir di semua tempat. Maka yang terbaik adalah bagaimana kita mengelola sampah tersebut. Mari kita kerjasama dan sama-sama kerja untuk membuat “joglangan” sebagai pos sampah kemudian dibakar, bisa jadi kita kerja sama dengan petugas sampah yang setiap pagi datang membawa “gledekan” untuk mengangkut sampah tersebut, atau didaur ulang. Tentu semua itu butuh usaha dan dana. Yang penting: Jangan buang sampah sembarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar