TAWADU’
Oleh Nur Akhlis*
Dalam salah satu karya besarnya yaitu kitab “Al-Hikam”, Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah menyatakan: ” siapa yang merasa dirinya tawadu’, benar-benar dia telah takabur. Sebab tiadalah ia merasa tawadu’ kalau bukan karena sifat tinggi darinya. Maka kapan saja engkau merasa dirimu tinggi, maka engkau benar-benar takabur”.
Tawadu’ memang suatu sifat terpuji bagi orang-orang saleh. Merendahkan diri (tawadu’) adalah hasil dari ibadah. Merendahkan diri kepada Allah SWT. Merasa kecil dan rendah diri dihadapan Allah Rabbul Alamin. Kepada sesama hamba Allah pun manusia harus tawadu’, tidak angkuh dan ujub karena menjadi hamba Allah yang taat menjalankan ibadah, dan patuh atas semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Merasa diri tawadu’ termasuk sifat yang angkuh (kibr). Apalagi kalau sifat tawadu’ dipamerkan kepada orang lain, maka jadilah perbuatan ini menjadi riya.
Sifat tawadu’ perlu dimiliki oleh setiap muslim yang saleh, akan tetapi tempat tawadu’ itu di dalam hati. Bisa saja tawadu’ itu nampak di luar diri seseorang tanpa dipamerkan, itu adalah akhlakul karimah. Karena tawadu’ adalah termasuk akhlak terpuji bagi manusia beriman.
Dalam pergaulan dengan sesama manusia, maka orang pun hendaknya memiliki perasaan tawadu’. Sifat tawadu’ akan menghindarkan manusia merasa lebih dari yang lain. Merasa lebih saleh, lebih kaya, lebih berderajat, lebih berpangkat, lebih cantik, lebih kuat, dan kelebihan lainnya. Merasa lebih akan membuat manusia angkuh. Sedangkan keangkuhan itu menurut hadits Rasulullah SWA adalah Menolak kebenaran dan merendahkan manusia.(HR Muslim)
Selanjutnya Syekh Ataillah mengatakan: “Bukanlah yang dinamakan tawadu’ itu, apabila orang yang tawadu’ merasakan ia harus berada di atas apa yang ia lakukan. Akan tetapi yang dinamakan tawadu’ adalah orang yang ketika tawadu’ merasakan bahwa dia berada di bawah apa yang ia lakukan.”
Menurut Syekh Asy Syibli, orang yang merasa dirinya berharga, atau minta dihargai, maka ia bukan orang yang tawadu’. Selama kita masih merasa ada orang yang melibihi dirinya, maka sifat ini termasuk sifat sombong. Sedangkan orang yang tawadu’, umumnya sabar, tidak merasa besar dan super.
Hamba Allah SWT yang tawadu’ tidak merasa memiliki kelebihan apapun, tidak merasa memiliki kemuliaan. Tawadu’ baginya adalah sifat dan watak yang harus dimiliki oleh setiap muslim.
Syekh Ataillah mengingatkan: “Hakikat tawadu’ adalah bertawadu’nya seseorang karena melihat keagungan Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Sebenarnya tawadu’ itu hanyalah sifat terpuji yang tersimpan dalam hazanah kalbu seorang hamba Allah SWT. Ia tidak menunjukkan sifat-sifatnya itu. Ia hanya meneladani akhlak Rasulullah SAW. Ia sendiri tidak merasa memiliki sifat tersebut, karena yang ia pakai dan tiru adalah sifat Rasulullah SAW.
Syekh Ataillah menegaskan: “Tidak ada yang dapat mengeluarkan engkau dari sifat angkuh, kecuali engkau memperhatikan sifat-sifat Allah SWT.”
Kekuasaan Allah SWT adalah sifat yang ada pada-Nya. Dia bersifat Maha Kuasa. Selama manusia tidak memperhatikan sifat-sifat kemuliaan yang ada pada Allah SWT, selama itu pula ia merasa lebih dari manusia lainnya, dan dengan sifat itu ia telah takabur.
Sifat tawadu’ patut dimiliki oleh setiap muslim, karena sifat ini adalah sifat yang diteladani dari sifat utama nabi Muhammad SAW. Sifat ini adalah bagian dari akhlakul karimah.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewahyukan kepadaku, agar bertawadu’lah kalian, sehingga tak seorangpun menyombongkan dirinya kepada yang lain, atau seorang tiada menganiaya kepada lainnya. (HR Muslim).
Kita baru saja memperingati tahun baru hijriyah 1429, dan sekitar seminggu sebelumnya kita juga baru saja memperingati tahun baru masehi. Dari kedua momen tersebut sudahkah kita muhasabah untuk mengevaluasi akan “kelakuan” kita selama satu tahun sebelumnya dan merencanakan untuk merevisi “kelakuan” kita yang kurang baik menuju kearah yang lebih baik di masa yang akan datang?
Dalam episode tahun kemarin entah berapa kali kita diingatkan oleh Allah SWT dengan berbagai macam ujian, teguran, adzab, atau apasaja istilah yang tepat. Dan sebetulnya kita juga sudah paham akan hal tersebut, tapi kenapa kita ini masih saja ndablek, arogan, dan tidak mau merubah kendablekan tersebut kearah yang lebih baik, yaitu sopan, rendah hati atau tawadu’ .
* Penulis adalah Wakil Sekretaris PCNU Kabupaten Kediri
*Tulisan ini telah terbit di Radar Kediri (Jawa Pos Group) pada hari Jum'at, 25 Januari 2008
1 komentar:
Pak Akhlis, sekedar menambahkan saja, pernah saya dengar dari ceramah Mbah Muchith Muzadi terkait tawadlu' ini, dalam pemahaman beliau tawadlu' tidak mesti diwujudkan dalam bentuk sifat merendah (say: low profile), tetapi dapat diwujudkan dalam bentuk 'saling menempatkan pada maqom-nya', yang guru yang bertindaklah sbg guru, atau jangan sebaliknya sbg murid jangan menempatkan diri seperti guru. Mungkin kata lain yang mendekati dengan gambaran Kyai Muchith tsb adalah menempatkan diri sesuai proporsi masing-masing. Beliau mengambil pemahaman itu salah satunya dari aspek lughowi bahwa kata tawadlu' berasal dari tawadla'a yatawadla'u tawadlu'an, sama dengan bentuk kata ta'awana yata'awanu ta'awunan, yang masing2 berimplikasi kepada makna "saling". Tapi memang saya tdk tahu, apakah penjelasan yang demikian "hanya" didasarkan pada aspek lughowi dan istilahi saja, atau memang itu ada rujukan kitab yang jelas dari. Maklum kalau saya tdk memiliki bandingan rujukan thd hal tersebut. Anyway, selamat untuk pak Akhlis, saya kagum dengan kiprah pak Akhlis yang ada di mana2, juga dengan EECC-nya. (Thohir Afandi, Eks Wong Pare, tinggal di Jkt.)
Posting Komentar